Makalah Sumber Hukum Islam Naqli (Alqur’an & Hadis)
Makalah Sumber Hukum Islam Naqli (Alqur’an & Hadis)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hukum islam merupakan istilah
khas di Indonesia,sebagai terjemahan dari al-fiqh al-islamy atau
dalam keadaan konteks tertentu dari as-syariah al islamy.Istilah
ini dalam wacana ahli Hukum Barat disebut Islamic Law.Dalam
Al-Qur’an dan Sunnah,istilah al-hukm al-Islam tidak
ditemukan.Namun yang digunakan adalah kata syari’at islam,yang kemudian dalam
penjabarannya disebut istilah fiqih.Uraian diatas memberi asumsi bahwa hukum
dimaksud adalah hukum islam.Sebab,kajiannya dalam perspektif hukum islam,maka
yang dimaksudkan pula adalah hukum syara’ yang bertalian dengan akidah
dan akhlak.
Penyebutan hukum islam sering
dipakai sebagai terjemahan dari syari’at islam atau fiqh islam.Apabila syari’at
islam diterjemahkan sebagai hukum islam,maka berarti syari’at islam yang
dipahami dalam makna yang sempit.Pada dimensi lain penyebutan hukum islam
selalu dihubungkan dengan legalitas formal suatu Negara,baik yang sudah
terdapat dalam kitab-kitab fiqh maupun yang belum.Menurut T.M,Hasbi Ashshiddiqy
mendefinisikan hukum islam adalah koleksi daya upaya para ahli hukum untuk
menerapkan syariat atas kebutuhan masyarakat.Dalam khazanah ilmu hukum islam di
Indonesia,istilah hukum islam dipahami sebagai penggabungan dua kata,hukum dan
islam.Hukum adalah seperangkat peraturan tentang tindak tanduk atau tingkah
laku yang diakui oleh suatu Negara atau masyarakat yang berlaku dan mengikat
untuk seluruh anggotanya.Kemudian kata hukum disandarkan kepada kata
islam.Jadi,dapat dipahami bahwa hukum islam adalah peraturan yang dirumuskan
berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku mukallaf (orang
yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini berlaku mengikat
bagi semua pemeluk agama islam.
B. Rumusan Masalah
Dengan adanya latar belakang dapat disimpulkan rumusan
masalah seperti berikut :
1.
Bagaimana
pengertian Fiqh dan Ushul Fiqh?
2.
Macam-m,acam dalil hukum yang disepakati ?
3.
Macam-macam dalil yang tidak disepakati ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Fiqh/Ushul Fiqh
Menurut bahasa “Fiqh” berasal dari kata faqiha-yafqahu-fiqihan
yang berarti mengerti atau paham berarti juga paham yang mendalam. Dari sini
ditariklah perkataan fiqh yang memberi pengertian kepahaman dalam hukum syariat
yang sangat dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Jadi, fiqh adalah ilmu untuk mengetahui hukum Allah
yang berhubungan dengan segala amaliah mukallaf baik yang wajib, sunah,
mubah,makrruh, atau haram yang digali dari dalil-dalil yang jelas (tafshilli).
Ushul
fiqh berasal dari dua kata, yaitu ushul dan fiqh. Ushul adalah bentuk
jamak dari kata Ashl ( اصل ) yang artinya kuat
(rajin), pokok sumber, atau dalil tempat berdirinya sesuatu. Jadi ushul fiqh
itu adalah ilmu yang mempelajari dasar-dasar atau jalan yang harus ditempuh
didalam melakukan istimbath hukum dari dalil-dalil syara’.
B. Pengertian Sumber Hukum Islam
Pengertian sumber hukum ialah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan
aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat,yaitu peraturan yang
apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata.
Sumber Hukum Islam ialah segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau
yang menjadi sumber syari’at islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad
(Sunnah Rasulullah SAW).Sebagian besar pendapat ulama ilmu fiqih sepakat bahwa
pada prinsipnya sumber utama hukum islam adalah Al-Qur’an dan Hadist.Disamping
itu terdapat beberapa bidang kajian yang erat berkaitan dengan sumber hukum
islam yaitu : ijma’, ijtihad, istishab, istislah, istihsun, maslahat mursalah,
qiyas,ray’yu, dan ‘urf.[1]
C. Macam-macam dalil yang disepakati
1.
Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber atau dasar hukum
yang utama dari semua ajaran dan syari’at islam. Hal ini ditegaskan di dalam
Al-Qur’an yaitu 105. Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu
dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang
telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang
tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat[347],
Definisi tentang Al-Qur’an telah banyak dirumuskan oleh beberapa ulama’,akan
tetapi dari beberapa definisi tersebut terdapat empat unsur pokok,yaitu :
1.
Bahwa
Al-Qur’an itu berbentuk lafazt yang mengandung arti bahwa apa yang disampaikan
Allah melalui Jibril kepada Nabi Muhammad dalam bentuk makna dan dilafazkan
oleh Nabi dengan ibaratnya sendiri tidaklah disebut Al-Qur’an.
2.
Bahwa Al-Qur’an itu adalah berbahasa Arab
3.
Bahwa Al-Qur’an ini diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
4.
Bahwa Al-Qur’an itu dinukilkan secara mutawatir
Ayat Al-Qur’an diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW dengan beberapa cara dan keadaan,antara lain, yaitu :
1.
Malaikat memasukkan wahyu ke dalam hati Nabi Muhammad SAW
2.
Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi Muhammad SAW berupa seorang
laki-laki yang mengucapkan kata-katanya
3.
Wahyu
datang seperti gemirincing lonceng
4.
Malaikat
menampakkan diri kepada Nabi Muhammad SAW benar-benar sebagaimana rupanya yang
asli
Ayat-ayat yang diturunkan tadi dibagi menjadi dua
bagian/jenis,yaitu :
1.
Ayat-ayat
Makkiyah
2.
Ayat-ayat
Madaniyah
Di dalam ajaran islam terdapat ketentuan-ketentuan
untuk membentuk sesuatu hukum,yaitu ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
Ushul Fiqih.Pengertian bahasa arab “Ushul Fiqih” secara harfiah adalah akar
pikiran,dan secara ibarat (tamsil) adalah sumber hukum atau prinsip-prinsip
tentang ilmu fiqih.Pada umumnya para fuhaka sepakat menetapkan dan Qiyas.[2]
2. Hadist
Hadist adalah ucapan Rasulullah SAW tentang suatu yang
berkaitan dengan kehidupan manusia atau tentang suatu hal,atau disebut pula
sunnah Qauliyyah.Hadist merupakan bagian dari sunnah Rasulullah.Pengertian
sunnah sangat luas,sebab sunnah mencakup dan meliputi:
1.
Semua
ucapan Rasulullah SAW yang mencakup sunnah qauliyah
2.
Semua
perbuatan Rasulullah SAW disebut sunnah fi’liyah
3.
Semua
persetujuan Rasulullah SAW yang disebut sunnah taqririyah
Pada prinsipnya fungsi sunnah terhadap
Al-Qur’an sebagai penganut hukum yang ada dalam Al-Qur’an.Sebagai penganut
hukum yang ada dalam Al-Qur’an,sebagai penjelasan/penafsir/pemerinci hal-hal
yang masih global.Sunnah dapat juga membentuk hukum sendiri tentang suatu hal
yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an.Dalam sunnah terdapat unsur-unsur sanad (keseimbangan
antar perawi),matan (isi materi) dan rowi (periwayat).
Dilihat dari segi jumlah perawinya sunnah dapat dibagi
kedalam tiga kelompok yaitu :
1.
Sunnah
Mutawattir : sunnah yang diriwayatkan banyak perawi
2.
Sunnah
Masyur : sunnah yang diriwayatkan 2 orang atau lebih yang tidak mencapai tingkatan
mutawattir
3.
Sunnah
ahad : sunnah yang diriwayatkan satu perawi saja.
Pembagian hadist dapat pula dilakukan melalui
pembagian berdasarkan rawinya dan berdasarkan sifat perawinya.
1.
Matan,
teks atau bunyi yang lengkap dari hadist itu dalam susunan kalimat yang
tertentu.
2.
Sanad,
bagian yangg menjadi dasar untuk menentukan dapat di percaya atau tidaknya
sesuatu hadist. Jadi tentang nama dan keadaan orang-orang yang
sambung-bersambung menerima dan menyampaikan hadist tersebut, dimulai dari
orang yang memberikannya sampai kepada sumbernya Nabi Muhammad SAW yang disebut
rawi.
Ditinjau dari sudut periwayatnya ( rawi ) maka hadist
dapat di golongkan ke dalam empat tingakatan yaitu:
1. Hadist mutawir, hadist yang diriwayatkan oleh kaum
dari kaum yang lain hingga sampai pada Nabi Muhammad SAW.
2. Hadist masyur, hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah
orang, kemudian tersebar luas. Dari nabi hanya diberikan oleh seorang saja atau
lebih.
3. Hadist ahad, hadist yang diriwayatkan oleh satu, dua
atau lebih hingga sampai kepada nabi muhammad.
4. Hadist mursal, hadist yang rangkaian riwayatnya
terputus di tengah-tengah,se hingga tidak sampai kepada Nabi Muhammad
SAW.
3. Al-Ijma’
Ijma’ menurut hukum islam pada prinsipnya ijma’ adalah
kesepakatan beberapa ahli istihan atau sejumlah mujtahid umat islam setelah
masa rasulullah tentang hukum atau ketentuan beberapa masa yang berkaitan
dengan syariat atau suatu hal. Ijma merupakan salah satu upaya istihad umat
islam setalah qiyas.
Kata ijma’ berasal dari kata jam’ artinya maenghimpun
atau mengumpulkan. Ijma’ mempunyai dua makna, yaitu menyusun mengatur suatu hal
yang tak teratur,oleh sebab itu berarti menetapkan memutuskan suatu perkara,dan
berarti pula istilah ulama fiqih (fuqaha). Ijma berati kesepakatan pendapat di
antara mujtahid, atau persetujuan pendapat di antara ulama fiqih dari abad
tertentu mengenai masalah hukum.[3]
Apabila di kaji lebih mendalam dan mendasar terutama
dari segi cara melakukannya, maka terdapat dua macam ijma’ yaitu :
1.
Ijma’
shoreh (jelas atau nyata) adalah apabila ijtihad terdapat beberapa ahli ijtihad
atau mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan masing-masing secara tegas dan
jelas.
2.
Ijma’
sukuti (diam atau tidak jelas) adalah apabila beberapa ahli ijtihad atau
sejumlah mujtahid mengemukakan pendapatnya atau pemikirannya secara jelas.
Apabila ditinjau dari segi adanya kepastian hukum
tentang suatu hal, maka ijma’ dapat digolongkan menjadi :
1.
Ijma’
qathi yaitu apabila ijma’ tersebut memiliki kepastian hukum ( tentang suatu
hal)
2.
Ijma’
dzanni yaitu ijma’ yang hanya menghasilkan suatu ketentuan hukum yang tidak
pasti.
Pada hakikatnya ijma’ harus memiliki sandaran, danya
keharusan tersebut memiliki beberapa aturan yaitu :
Pertama
: bahwa bila ijma’ tidak mempunyai dalil tempat
sandarannya, ijma’ tidak akan sampai kepada kebenaran.
Kedua : bahwa para sahabat
keadaanya tidak akan lebih baik keadaan nabi, sebagaimana diketahui, nabi saja
tidak pernah menetapkan suatu hukum kecuali berdasarkan kepada wahyu.
Ketiga : bahwa
pendapat tentang agama tanpa menggunakan dalil baik kuat maupun lemah adalah
salah.kalau mereka sepakat berbuat begitu berati mereka sepakat berbuat suatu
kesalahan yang demikian tidak mungkin terjadi.
Keempat : bahwa pendapat yang
tidak didasarkan kepada dalil tidak dapat diketahui kaitannya dengan hukum
syara’ kalau tidak dapat dihubungkan kepada syara’ tidak wajib diikuti.[4]
4.
Al-Qiyas
Qiyas ialah menyamakan suatu peristiwa yang tidak ada
hukumnya dalam nash kepada kejadian yang lain yang hukumnya dalam nash karena
adanya kesamaan dua kejadian dalam illat hukumnya.Seterusnya dalam perkembangan
hukum islam kita jumpai qiyas sebagai sumber hukum yang keempat. Arti perkataan
bahasa arab “Qiyas” adalah menurut bahasa ukuran, timbangan. Persamaan
(analogy) dan menurut istilah ali ushul fiqih mencari sebanyak mungkin
persamaan antara dua peristiwa dengan mempergunakan cara deduksi (analogical
deduction). Yaitu menciptakan atau menyalurkan atau menarik suatu garis hukum
yang baru dari garis hukum yang lama dengan maksud memakaiakan garis hukum yang
baru itu kepada suatu keadaan, karena garis hukum yang baru itu ada persamaanya
dari garis hukum yang lama.Sebagai contoh dapat dihadirkan dalam hal ini yaitu
surat Al-Maidah ayat 90,yakni :
“ hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
khamar, berjudi, (berkorban untuk berhala) mengundi
nasb dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”(QS.Al-Maidah
: ayat 90)
Menurut ketentuan nash, khamar dilarang karena
memabukkan da dampak negatifnya akan menyebabkan rusaknya badan, pikiran dan
pergaulan. Dengan demikian sifat memabukkan dimiliki sebagai sebab bagi
ketentuan hukum haram. Hal ini dapat diqiyaskan bahwa setiap minuman yang
memabukkan haram hukumnya jadi dilarang di dalam hukum islam.[5]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sumber Hukum Islam ialah
segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang menjadi sumber syari’at islam
yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad (Sunnah Rasulullah SAW).
Al-Qur’an adalah
sumber atau dasar hukum yang utama dari semua ajaran dan syari’at islam.
Hadist adalah ucapan
Rasulullah SAW tentang suatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia atau
tentang suatu hal,atau disebut pula sunnah Qauliyyah.
Ijma’ menurut hukum
islam pada prinsipnya ijma’ adalah kesepakatan beberapa ahli istihan atau
sejumlah mujtahid umat islam setelah masa rasulullah tentang hukum atau
ketentuan beberapa masa yang berkaitan dengan syariat atau suatu hal.
Qiyas ialah menyamakan
suatu peristiwa yang tidak ada hukumnya dalam nash kepada kejadian yang lain
yang hukumnya dalam nash karena adanya kesamaan dua kejadian dalam illat
hukumnya.
B. Saran
Kami menyadari makalah ini terbatas dan banyak
kekurangan untuk dijadikan landasan kajian ilmu, maka kepada para pembaca agar
melihat referensi lain yang terkait dengan pembahasan makalah ini demi
relevansi kajian ilmu yang akurat. Maka dari itu kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan dari pembaca sekalian, terima kasih.
DAFTAR
PUSTAKA
[1]Ali Zainuddin, Hukum
Islam. Jakarta : Sinar Grafika, Sudarsono, 2005
[2]Hamidi Jazim, Hukum islam,
Teori Penemuan Hukum islam, Yogyakata, 2004.
[3] Ali Zainuddin, Hukum
Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, Sudarsono, 2005), hal. 13.
[4] Ali Zainuddin, Hukum
Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, Sudarsono, 2005), hal. 16.
[5] Ali Zainuddin, Hukum
Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, Sudarsono, 2005), hal. 18.
[6] Hamidi
Jazim, Hukum islam, Teori Penemuan Hukum islam, (Yogyakata, 2004), hal. 13.
[7] Hamidi
Jazim, Hukum islam, Teori Penemuan Hukum islam, (Yogyakata, 2004), hal. 17
0 Response to "Makalah Sumber Hukum Islam Naqli (Alqur’an & Hadis)"
Posting Komentar